Rasio Omega-6/Omega-3 ditemukan lebih tinggi pada pria infertil (kurang subur), hal ini menurut penemuan dari studi yang melibatkan sekitar 150 laki-laki di Iran, sebagaimana yang dipublikasi pada Clinical Nutrition journal tahun 2009. Sebagaimana diketahui juga bahwa komposisi asam lemak (Fatty acid) pada spermatozoa berperanan dalam fertilitas (kesuburan) pria.
Sebagai latar belakang studi klinis yang dilakukan oleh Dr. Safarinejad dari Universitas Shahid Beheshti di Teheran, Iran, dengan mengevaluasi komposisi asam lemak rantai panjang yang tidak tersaturasi (polyunsaturated fatty acid) pada plasma darah dan spermatozoa pada pria infertil (tidak subur) dengan oligoasthenoteratozoospermia yang idiopatik (OAT).
Dr Safarinejad dan rekan-rekan mengukur level asam lemak rantai panjang yang tak tersaturasi (polyunsaturated fatty acid) plasma darah dan spermatozoa dari 82 pria infertil dengan idiopatik OAT serta 78 pria fertil yang ditentukan dengan konsentrasi cairan semen dan terbukti fertil mengikuti studi ini. Parameter cairan semen dimasukan berdasarkan kriteria WHO; kadar 3 Omega-3 fatty acid – ALA (Alpha linolenic acid), EPA (Eicosapentaenoic acid) dan docosahexaenoic acid (DHA) dan 2 Omega-6 – (linoeic acid) dan asam arakhidonat (Arachidonic acid) yang diukur pada plasma darah dan spermatozoa; dan enzim antioksidan level Katalase serta Superoxide dismutase (SOD) pada cairan plasma seminal juga dimasukkan dalam studi klinis ini.
Dari hasil studi ini ditemukan bahwa pada pria yang terbukti fertil mempunyai level Omega-3 fatty acid yang lebih tinggi dibandingkan subyek pria yang tidak subur (infertil). Rasio serum Omega-6 / Omega-3 fatty acid lebih tinggi secara signifikan pada pria yang tidak subur ( 14,8 ± 4,3) dibandingkan kontrol pria yang fertil ( 6,3 ± 2,2) (p = 0,001). Sebagai tambahan, level asam arakidonat lebih tinggi dan index Omega-3 ( EPA +DHA) lebih rendah pada subyek infertil dibandingkan kontrol fertil ( semua P value < 0,05). Pria infertil mempunyai kadar rata-rata ratio AA:DHA dan rasio AA:EPA ( masing-masing 6,4± 2,9 dan 12,0 ± 4,9) dibandingkan pria fertil ( masing-masing 3,3 ± 1,8 dan 6,7 ± 2,6) ( keduanya P = 0,001). Korelasi negatif yang kuat ditemukan antara rasio AA : DHA dan rasio AA:EPA dan hitung total sperma (masing-masing r = -0,62, P= 0,001 dan r = -0,64, P=0,001), motilitas sperma (r=-0,63, p =0,001 dan r= -0,61, p = 0,001) dan morfologi sperma (masing-masing r =-0,61, p = 0,001 dan r = -0,59, P = 0,002).
Sebagai kesimpulan studi klinis Dr. Safarinejad dkk, menunjukkan pria infertil (tidak subur) mempunyai konsentrasi asam lemak Omega-3 yang lebih rendah pada spermatozoa dibandingkan pria fertil (subur), dan menurutnya beserta rekan-rekan kelompok studi ini mengusulkan benefit/ potensial dari suplementasi asam lemak Omega-3 terhadap pengobatan pria tidak subur dengan OAT idiopatik. Walaupun begitu menurut Dr. Safarinejad, masih juga diperlukan konfirmasi melalui suatu penelitian yang lebih besar, studi prospektif untuk menindak- lanjuti hal ini dimasa mendatang, karena studi ini tidak dapat digeneralisasi untuk populasi lainnya.
Sebagai latar belakang studi klinis yang dilakukan oleh Dr. Safarinejad dari Universitas Shahid Beheshti di Teheran, Iran, dengan mengevaluasi komposisi asam lemak rantai panjang yang tidak tersaturasi (polyunsaturated fatty acid) pada plasma darah dan spermatozoa pada pria infertil (tidak subur) dengan oligoasthenoteratozoospermia yang idiopatik (OAT).
Dr Safarinejad dan rekan-rekan mengukur level asam lemak rantai panjang yang tak tersaturasi (polyunsaturated fatty acid) plasma darah dan spermatozoa dari 82 pria infertil dengan idiopatik OAT serta 78 pria fertil yang ditentukan dengan konsentrasi cairan semen dan terbukti fertil mengikuti studi ini. Parameter cairan semen dimasukan berdasarkan kriteria WHO; kadar 3 Omega-3 fatty acid – ALA (Alpha linolenic acid), EPA (Eicosapentaenoic acid) dan docosahexaenoic acid (DHA) dan 2 Omega-6 – (linoeic acid) dan asam arakhidonat (Arachidonic acid) yang diukur pada plasma darah dan spermatozoa; dan enzim antioksidan level Katalase serta Superoxide dismutase (SOD) pada cairan plasma seminal juga dimasukkan dalam studi klinis ini.
Dari hasil studi ini ditemukan bahwa pada pria yang terbukti fertil mempunyai level Omega-3 fatty acid yang lebih tinggi dibandingkan subyek pria yang tidak subur (infertil). Rasio serum Omega-6 / Omega-3 fatty acid lebih tinggi secara signifikan pada pria yang tidak subur ( 14,8 ± 4,3) dibandingkan kontrol pria yang fertil ( 6,3 ± 2,2) (p = 0,001). Sebagai tambahan, level asam arakidonat lebih tinggi dan index Omega-3 ( EPA +DHA) lebih rendah pada subyek infertil dibandingkan kontrol fertil ( semua P value < 0,05). Pria infertil mempunyai kadar rata-rata ratio AA:DHA dan rasio AA:EPA ( masing-masing 6,4± 2,9 dan 12,0 ± 4,9) dibandingkan pria fertil ( masing-masing 3,3 ± 1,8 dan 6,7 ± 2,6) ( keduanya P = 0,001). Korelasi negatif yang kuat ditemukan antara rasio AA : DHA dan rasio AA:EPA dan hitung total sperma (masing-masing r = -0,62, P= 0,001 dan r = -0,64, P=0,001), motilitas sperma (r=-0,63, p =0,001 dan r= -0,61, p = 0,001) dan morfologi sperma (masing-masing r =-0,61, p = 0,001 dan r = -0,59, P = 0,002).
Sebagai kesimpulan studi klinis Dr. Safarinejad dkk, menunjukkan pria infertil (tidak subur) mempunyai konsentrasi asam lemak Omega-3 yang lebih rendah pada spermatozoa dibandingkan pria fertil (subur), dan menurutnya beserta rekan-rekan kelompok studi ini mengusulkan benefit/ potensial dari suplementasi asam lemak Omega-3 terhadap pengobatan pria tidak subur dengan OAT idiopatik. Walaupun begitu menurut Dr. Safarinejad, masih juga diperlukan konfirmasi melalui suatu penelitian yang lebih besar, studi prospektif untuk menindak- lanjuti hal ini dimasa mendatang, karena studi ini tidak dapat digeneralisasi untuk populasi lainnya.
Comments